Sabtu, 08 Desember 2012
Kamis, 16 Agustus 2012
Hari Raya Yang Kosong
Aku akan bercerita sesuatu padamu kawan. Sesuatu yang akan kau bilang omong kosong atau mungkin hanya semacam keluhan tidak bermutu ala abg-abg galau masakini yang menulis dalam status jejaring sosialnya.
Lebaran, hari yang paling ditunggu umat muslim seantero nusantara,setauku loh. Namun tidak buat saya untuk lebaran tahun ini. Satu syawal, adalah tidak lebih dari tuntasnya Ramadan buatku. Tidak ada semangat antusiasme seperti biasanya.
Semua sejak kepindahan yang tidak dikehendaki ini. Aku jadi pemurung dan kehilangan semangat walau mungkin aku akan menuntaskan puasa tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang penuh tantangan dan berlubang. Di tahun ini hampir tak ada tantangan sama sekali, kerjaku cuma tidur dan menunggu berbuka tiba tidak heran puasa berjalan mulus. Alasan lain adalah percuma tidak berpuasa pun makanan dan minuman disini buruk. Itulah sebabnya Hari Raya tiada arti lagi bagiku. Tidak ada perjuangan mencari nafkah, uang tambahan dan bahkan THR. Tidak ada perjuangan pulang kampung. Tidak ada perjuangan membahagiakan orang tua. Semua kosong!
Disini. Menganggur. Menanti kelahiran buah hati di tempat yg asing bagiku. Saking asingnya sampai-sampai peluang kurasakan nol persen untuk bertahan. Cuma jenuh, bosan, dan jengah yang tiap hari kurasakan. Hidup menumpang mertua, tidak bekerja, sepenuhnya bergantung pada istri dari uang setoran kost-kostan. Bisa kau bayangkan betapa hancurnya harga diriku kawan!? Parasit! Itu pasti yang akan engkau lontarkan dari pikiranmu.
Katakanlah, apa aku pantas merayakan Lebaran? Seumur hidupku baru kali ini aku merasa tidak berdaya untuk sekedar pulang dan sungkem dengan orang tua. Aku tidak bisa pulang! Aku tidak punya uang! Aku tidak bisa berbakti kepada mereka walau cuma untuk mencium tangan mereka.
Samarinda
Minggu, 12 Agustus 2012
G A L A U
Ku tak tahu lagi
Harus kemana ku berpijak
Di ujung tebing cinta ini
Perlahan habis terkikis
Deburan ombak kerinduan
Bagai maut yang siap mengantar
Ruh yang hina ini kepada-Nya
Kini
Kurasa nisbi segala mimpi
Melayang ragu kaki menjejak bumi
Dari seorang perempuan kutanya hati
Bagaimana cara menepati janji
Horison di ufuk barat
Menelan surya lembayung jingga
Diatas kerinduan yang tak berbatas
Raga nan fana tinggal menunggu masa
"sampai tiba waktuku ku tak ingin seorang pun tahu tidak juga kau tidak perlu sedu sedan itu..." (Kau, Chairil Anwar)
Seringai Matahari
Gelagapan
Diselimuti jejaring nisbi
Mengalir galau menelisik ngeri
Derap canggung di tepian hati
Tetap saja menanti
Sebuah naungan mungil
Yang kan sejukkan nurani
Namun hari demi hari berlari
Terlalu banyak waktu tak berarti
Terlalu gagap dengan mimpi mimpi
Mungkin
Hanya aku disini
Menyeringai kepada matahari
Menggelepar seperti cacing
Berharap
Sekerat lumpur melumur
Naungi rapuhnya ari
Aku mungkin tak punya hati
Jiwa gelap membara dendam
Busuk tak pantas mencintai
Sampai kutuk sumpah serapah
Seling silih berganti
Selasa, 31 Juli 2012
Lirih
Sekian lama bertaut waktu
Mengiring setiap nada riang nan sendu
Berjuta nyanyian melantun merdu
Walau parau suaraku tak senyaring dentingmu
Tak terasa sudah kali berapa kuganti senarmu
Setianya menemani suka dan duka
Menambal segala luka dg nada
Riuh hadirmu mengisi relung jiwa
Rengkuh gejolak birahi mengikis derita
Kini,
Seiring waktu
Rentanya engkau dan rapuhnya aku
Segalanya menjadi satu
Sebait lagu abadi yang takkan berlalu
Jemari terus menari
Meninggalkan jejak
Jasad not balok dari do sampai do
Dari G kembali G
Rentang oktaf meregang syaraf
Hingga nyawa insyaf
Mengejek ruh yg lelah
sendirian...
Selasa, 24 Juli 2012
Aku bosan
Sabtu, 14 Juli 2012
Malam minggu
Sudah hampir 2 minggu sejak kedatanganku ke kota ini dan apa yg
kutakutkan terjadi juga. Penyesalan, kesepian, kekurangan,
kebimbangan, ke-tidak puas-an, dan kerinduan.
Aku telah melepas semua identitasku. Sebagai kepala keluarga yg
seharusnya menjadi tumpuan ternyata cuma menjadi parasit di tempat
terkutuk ini. Aku bahkan telah mengganti identitas dalam arti harfiah
yaitu data kependudukan menjadi warga disini. Bagian dari tempat
terkutuk ini.
Entah mengapa aku tidak suka tempat ini dan entah dimana akal sehatku
sampai harus pindah ke tempat ini. Tempat yg benar-benar asing dan
sungguh tidak bersahabat, pun istriku menunjukkan sifat yg tidak jauh
berbeda dari dulu ketika masih bersamaku.
Tidak, tentu saja aku tidak akan menceritakan perihal istriku, kota
ini, atau mengapa aku menyebutnya 'terkutuk'. Aku hanya ingin menulis
perasaanku, itu saja.
Aku tahu, kau pasti mengatakan aku cengeng. Entahlah, aku
menyembunyikan perasaanku selama ini dari istriku bahwa aku bahagia
dan selalu menghiburnya dikala galau. Disaat ia sedang resah, atau
bersedih dg kata-kata 'sabar sayang'. Karena aku tahu, dalam hatinya
ia sedang merasa bersalah dan aku tidak mau membuatnya semakin hancur
bila aku mengungkapkan perasaanku. Tidak, apalagi mengingat usia janin
dalam kandungannya. Oleh sebab itu, aku butuh engkau untuk mendengar
ocehanku, atau sekedar menatap sinis padaku. Aku hanya ingin menulis,
maaf mengganggu malam minggumu kawan...
Samarinda, 14 Juli 2012, 23:31
kutakutkan terjadi juga. Penyesalan, kesepian, kekurangan,
kebimbangan, ke-tidak puas-an, dan kerinduan.
Aku telah melepas semua identitasku. Sebagai kepala keluarga yg
seharusnya menjadi tumpuan ternyata cuma menjadi parasit di tempat
terkutuk ini. Aku bahkan telah mengganti identitas dalam arti harfiah
yaitu data kependudukan menjadi warga disini. Bagian dari tempat
terkutuk ini.
Entah mengapa aku tidak suka tempat ini dan entah dimana akal sehatku
sampai harus pindah ke tempat ini. Tempat yg benar-benar asing dan
sungguh tidak bersahabat, pun istriku menunjukkan sifat yg tidak jauh
berbeda dari dulu ketika masih bersamaku.
Tidak, tentu saja aku tidak akan menceritakan perihal istriku, kota
ini, atau mengapa aku menyebutnya 'terkutuk'. Aku hanya ingin menulis
perasaanku, itu saja.
Aku tahu, kau pasti mengatakan aku cengeng. Entahlah, aku
menyembunyikan perasaanku selama ini dari istriku bahwa aku bahagia
dan selalu menghiburnya dikala galau. Disaat ia sedang resah, atau
bersedih dg kata-kata 'sabar sayang'. Karena aku tahu, dalam hatinya
ia sedang merasa bersalah dan aku tidak mau membuatnya semakin hancur
bila aku mengungkapkan perasaanku. Tidak, apalagi mengingat usia janin
dalam kandungannya. Oleh sebab itu, aku butuh engkau untuk mendengar
ocehanku, atau sekedar menatap sinis padaku. Aku hanya ingin menulis,
maaf mengganggu malam minggumu kawan...
Samarinda, 14 Juli 2012, 23:31
Sabtu, 25 Februari 2012
DILEMA
Mataku tak mau terpejam malam ini. Percakapan itu sungguh mengganggu pikiranku.
"Aku tidak mau tinggal disana mas ! Aku trauma, bapakmu, ibumu, tetanggamu, semua. Selalu mencaciku, aku depresi mas ! Dan itu tidak sehat untuk pertumbuhan anak kita !"
"Biarkan saja mereka bicara sepuasnya, asal kamu menutup telingamu dan tidak menghiraukannya semua akan baik-baik saja. Cuek sajalah, dan pikirkan dirimu sendiri jangan hiraukan perkataan orang lain. Lagipula aku yakin mereka tidak bermaksud menyakitimu, mereka hanya menasehati walau dari belakangmu dan kebetulan kamu dengar mereka sedang membicarakanmu".
"Iya ! Kamu terus saja membela mereka. Aku ini istrimu mas, cintamu, belahan hatimu. Aku lah yang seharusnya kamu bela demi kenyamananku !"
"Tentu saja aku bela mereka ! Mereka orang tuaku dan tetangga sebelah rumah kita, siapa orang pertama yang kita minta bantuannya selain mereka ?"
"Pokoknya aku tidak mau tinggal disana ! Kamu harus disini bersamaku dengan si jabang bayi calon anakmu yang ada di kandunganku ini."
"Terserah !"
"Aku capek berdebat denganmu, tidak akan pernah selesai."
"Aku disini adalah kakak, keluargaku adalah tanggung jawabku saat orang tuaku sudah tidak lagi mampu mencari nafkah, sedangkan kau, kau masih punya kakak-kakak yang menemani orang tuamu disana. Tidak perlu kita menambahi beban mereka dengan menumpang di rumah mereka. Disini anggota keluarga sedikit, kenapa musti bergerombol disana ? Egois sekali."
"Sekali tidak mau ya tidak mau !"
"Aku trauma, dan aku akan lakukan apapun supaya kamu mau tinggal disini !"
"Ah.. Terserah !"
Kata-kata terakhir itulah yang membuatku galau sepanjang malam. Percakapan selesai tanpa solusi, menggantung, dan kami masih bersikukuh dengan ego masing-masing. Sampai hari berikutnya kami belum kontak sama sekali. Aku memang sedang marah, dan ku yakin dia pun demikian. Jadi aku akan menunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya.
Belakangan memang kami sering bertengkar mulai soal rumah, tetangga, kebersihan rumah, dan sebagainya. Namun kupikir itu hanya karena kerinduannya akan kampung halamannya di Kaltim, dan bawaan si jabang bayi. Aku memakluminya karena di awal kehamilan emosi wanita sangat labil. Begitu yang kubaca di artikel-artikel kehamilan.
Aku cukup bersabar dengan menuruti apapun keinginannya dan menghiburnya bahwa setelah si kecil lahir kita akan menjenguk kakek neneknya disana. Ternyata, rindunya memuncak seiring amarah yang menggelora, ia pulang.
Aku tidak bisa berbuat banyak, bahkan nasehat ibuku dianggapnya menyerang dan ia semakin meradang ingin pulang. Terpaksa aku menurutinya dengan satu syarat : "setelah si kecil lahir aku akan menjemput kalian"
Jauh panggang dari api. Belum sebulan, terjadilah percekcokan ini. Entah setan mana yang mempengaruhinya.
Aku seperti kehilangan semangat hidup. Saat aku sedang tekun bekerja dengan segenggam cita-cita agar bisa punya rumah sendiri di Jawa dan antusiasme menanti kehadiran si kecil harus pupus dan ku pendam jauh di lubuk hati, itupun jika hatiku masih berfungsi saat sedang hancur seperti ini.
Sebagai laki-laki aku sudah tidak lagi punya harga diri. Jika aku harus hidup ikut istriku. Meskipun sederhana, aku jauh lebih merasa bangga bila istriku mengikuti imamnya dan lebih merasa dihargai dibanding aku yang harus disana.
Sebagai orang Jawa adalah suatu kewajiban menanggung hidup istrinya, walaupun dengan bantuan orang tua, itu sudah merupakan kebanggaan tersendiri. Entah apa yang sedang dipikirkan istriku saat ini.
Aku rindu padanya.. Aku juga kesal padanya..
Ya Allah, luluhkanlah hati istriku agar ia mau menuruti suaminya, dan bukakan pintu hatinya supaya mau mendengar semua perkataanku.
Amin.
"Aku tidak mau tinggal disana mas ! Aku trauma, bapakmu, ibumu, tetanggamu, semua. Selalu mencaciku, aku depresi mas ! Dan itu tidak sehat untuk pertumbuhan anak kita !"
"Biarkan saja mereka bicara sepuasnya, asal kamu menutup telingamu dan tidak menghiraukannya semua akan baik-baik saja. Cuek sajalah, dan pikirkan dirimu sendiri jangan hiraukan perkataan orang lain. Lagipula aku yakin mereka tidak bermaksud menyakitimu, mereka hanya menasehati walau dari belakangmu dan kebetulan kamu dengar mereka sedang membicarakanmu".
"Iya ! Kamu terus saja membela mereka. Aku ini istrimu mas, cintamu, belahan hatimu. Aku lah yang seharusnya kamu bela demi kenyamananku !"
"Tentu saja aku bela mereka ! Mereka orang tuaku dan tetangga sebelah rumah kita, siapa orang pertama yang kita minta bantuannya selain mereka ?"
"Pokoknya aku tidak mau tinggal disana ! Kamu harus disini bersamaku dengan si jabang bayi calon anakmu yang ada di kandunganku ini."
"Terserah !"
"Aku capek berdebat denganmu, tidak akan pernah selesai."
"Aku disini adalah kakak, keluargaku adalah tanggung jawabku saat orang tuaku sudah tidak lagi mampu mencari nafkah, sedangkan kau, kau masih punya kakak-kakak yang menemani orang tuamu disana. Tidak perlu kita menambahi beban mereka dengan menumpang di rumah mereka. Disini anggota keluarga sedikit, kenapa musti bergerombol disana ? Egois sekali."
"Sekali tidak mau ya tidak mau !"
"Aku trauma, dan aku akan lakukan apapun supaya kamu mau tinggal disini !"
"Ah.. Terserah !"
Kata-kata terakhir itulah yang membuatku galau sepanjang malam. Percakapan selesai tanpa solusi, menggantung, dan kami masih bersikukuh dengan ego masing-masing. Sampai hari berikutnya kami belum kontak sama sekali. Aku memang sedang marah, dan ku yakin dia pun demikian. Jadi aku akan menunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya.
Belakangan memang kami sering bertengkar mulai soal rumah, tetangga, kebersihan rumah, dan sebagainya. Namun kupikir itu hanya karena kerinduannya akan kampung halamannya di Kaltim, dan bawaan si jabang bayi. Aku memakluminya karena di awal kehamilan emosi wanita sangat labil. Begitu yang kubaca di artikel-artikel kehamilan.
Aku cukup bersabar dengan menuruti apapun keinginannya dan menghiburnya bahwa setelah si kecil lahir kita akan menjenguk kakek neneknya disana. Ternyata, rindunya memuncak seiring amarah yang menggelora, ia pulang.
Aku tidak bisa berbuat banyak, bahkan nasehat ibuku dianggapnya menyerang dan ia semakin meradang ingin pulang. Terpaksa aku menurutinya dengan satu syarat : "setelah si kecil lahir aku akan menjemput kalian"
Jauh panggang dari api. Belum sebulan, terjadilah percekcokan ini. Entah setan mana yang mempengaruhinya.
Aku seperti kehilangan semangat hidup. Saat aku sedang tekun bekerja dengan segenggam cita-cita agar bisa punya rumah sendiri di Jawa dan antusiasme menanti kehadiran si kecil harus pupus dan ku pendam jauh di lubuk hati, itupun jika hatiku masih berfungsi saat sedang hancur seperti ini.
Sebagai laki-laki aku sudah tidak lagi punya harga diri. Jika aku harus hidup ikut istriku. Meskipun sederhana, aku jauh lebih merasa bangga bila istriku mengikuti imamnya dan lebih merasa dihargai dibanding aku yang harus disana.
Sebagai orang Jawa adalah suatu kewajiban menanggung hidup istrinya, walaupun dengan bantuan orang tua, itu sudah merupakan kebanggaan tersendiri. Entah apa yang sedang dipikirkan istriku saat ini.
Aku rindu padanya.. Aku juga kesal padanya..
Ya Allah, luluhkanlah hati istriku agar ia mau menuruti suaminya, dan bukakan pintu hatinya supaya mau mendengar semua perkataanku.
Amin.
P E R C U M A
Aku bersimpuh
Menadah peluh yang membasuh
Sia-sia jerih payah ku selama ini
Percuma segala perjuanganku sejauh ini
Dimana semua cita-cita pupus
Semua keinginan kandas
Semua harapan musnah
Semua keinginan hanya semu belaka
Kini
Hilang sudah semangatku
Hilang gairahku
Berganti kosong dan hampanya hidup sebagai lelaki
Peluhku tak jadi teduh
Lelahku tak jadi indah
Doaku tak jadi nyata
Rinduku tak jadi menuju
Keringatku tak jadi semangat
Kerjaku tak jadi nyata
Dahagaku dan laparku sia-sia belaka
Aku tak menyalahkanmu
Hatiku menuntut sikapku
Airmatamu menikam jantungku
Tak kuasa beban menghimpit
Dan merubahku menjadi sosok pengecut
Menadah peluh yang membasuh
Sia-sia jerih payah ku selama ini
Percuma segala perjuanganku sejauh ini
Dimana semua cita-cita pupus
Semua keinginan kandas
Semua harapan musnah
Semua keinginan hanya semu belaka
Kini
Hilang sudah semangatku
Hilang gairahku
Berganti kosong dan hampanya hidup sebagai lelaki
Peluhku tak jadi teduh
Lelahku tak jadi indah
Doaku tak jadi nyata
Rinduku tak jadi menuju
Keringatku tak jadi semangat
Kerjaku tak jadi nyata
Dahagaku dan laparku sia-sia belaka
Aku tak menyalahkanmu
Hatiku menuntut sikapku
Airmatamu menikam jantungku
Tak kuasa beban menghimpit
Dan merubahku menjadi sosok pengecut
Langganan:
Postingan (Atom)