Hakikat Bahasa

Bahasa
yang memiliki konten
visualisasi, misalnya bahasa
yang berbentuk gambar,
memiliki kekuatan dan kuasa
untuk mengkonstruksi
subjektivitas dan kesadaran,
meskipun secara samar atau
secara diam-diam. Oleh
karena itu, bahasa bukan
semata-mata alat komunikasi
atau sebuah sistem kode atau
nilai yang sewenang-wenang
menunjuk pada satu realitas
yang monolitik. Secara sosial,
bahasa dikonstruksi dan
direkonstruksi dalam setting
sosial tertentu, daripada
tertata menurut hukum dan
kaidah secara ilmiah
universal.
Martin Heidegger pernah
mengungkapkan, bahwa
dalam bahasalah
bersemayam “sang
ada”. Oleh karena itu,
sebagai representasi dari
hubungan-hubungan sosial
tertentu, simbol-simbol
bahasa senantiasa
membentuk subyek-subyek,
strategi-strategi, dan tema-
tema wacana tertentu. Jurgen
Habermas dalam
bukunya ”Zur Logic der
Sozialwissenscheften” (1967),
telah mengisyaratkan bahwa
proses-proses sosial dan
politik itu tidak melulu
beranyamkan “praksis kerja”,
tetapi juga “praksis
komunikasi”. Oleh karena itu,
penggelaran operasi
kekuasaan pun tidak terbatas
pada pengendalian sarana
sistem produksi material,
tetapi tak kalah pentingnya
adalah upaya-upaya
memanipulasi sistem-sistem
reproduksi idea. Singkatnya,
bahasa merupakan ruang
bagi pergelaran kuasa-kuasa
tertentu.
Kesadaran akan pentingnya
bahasa sebagai perekat
sosial, cara “mengada”, dan
berkuasa, telah menyedot
minat dan perhatian banyak
pemikir besar, serta
senantiasa menjadi tema yang
cukup dominan dan strategis
di sepanjang sejarah filsafat
pemikiran ilmu pengetahuan
dan kebudayaan selama ini.
Dalam perkembangan sejarah
pemikiran selama ini,
persoalan studi perihal
representasi bahasa di dunia,
dikenal tiga paradigma besar,
yang masing-masing
memiliki zeitgeist (jiwa
zaman) yang berbeda, yakni
paradigma Empirisme-
Positivistik, paradigma
Fenomenologis-Interpretatif,
dan paradigma
Kritis (discursive practice).
Adapun salah satu kajian
perihal eksistensi bahasa
yang kiranya cukup bermakna
signifikan-strategis di era
sekarang ini yakni kajian
mengenai simbol bahasa yang
terinterpretasi di media
massa. Hal ini lebih
disebabkan oleh keberadaan
media massa itu sendiri di era
“Revolusi Gelombang
Ketiga” (Revolusi Komunikasi)
di saat ini mempunyai peran
yang sangat vital bagi
masyarakat, yakni mampu
menpengaruhi persepsi,
perilaku, serta cara pandang
baru atas berbagai persoalan.
Hal tersebut, sebagaimana
dikemukakan oleh seorang
futurolog terkenal, yakni
Alvin Toffler yang
mengungkapkan bahwa pada
era Revolusi Komunikasi ini,
peran media massa baik
cetak maupun elektronik
menjadi suatu keniscayaan
kebutuhan yang tidak bisa
terhindarkan di masyarakat.
Pada era ini terjadi revolusi
informasi dan komunikasi,
bahkan ada yang
menyebutnya sebagai “the
communication explotion”
(ledakan komunikasi). Dalam
era ini pula dapat ditemukan
verifikasi dari hipotetisnya
Alvin Toffler, yakni kaitannya
antara infosphere-
sociosphere-psycophere
teknologi komunikasi yang
baru telah membentuk dan
mengubah cara hidup kita.
Dengan media komunikasi
yang baru, “we are
fabricating a total
psycological environment of
ourselves,” demikian
ungkapan Frederick William.
Kembali pada persoalan
simbol bahasa, Levi–Strauss
memandang bahwa yang
dinamakan dengan bahasa
kebahasaan itu tidak hanya
sebatas pada makna dari
simbol bahasa tulis maupun
lisan, melainkan semua
fenomena sosial budaya yang
lebih luas, seperti misalnya
pakaian, ritual, dan lain-lain,
juga dimaknai sebagai gejala
bahasa. Bahasa sebagai
fenomena cultural text dapat
dimaknai sebagai gambaran
kontekstual akan warna
sebuah realitas sosial dan
kultur publik pendukungnya.
Namun demikian, teori
terbaru mengenai bahasa
sebagai bagian dari sebuah
kenyataan kultural, ternyata
keberadaannya tidak hanya
merupakan refleksi dari
realitas sosialnya semata,
melainkan juga memiliki
kemampuan atau daya untuk
membentuk atau
mengkonstruksi realitas itu
sendiri. Bahwa bahasa itu
memiliki hubungan dua arah
dengan realitas sosial, di satu
pihak bahasa dapat menjadi
cermin bagi keadaan
disekelilingnya, namun di lain
pihak ia juga dapat
membentuk realitas sosial itu
sendiri. Kemampuan bahasa
untuk membentuk realitas
sosial, juga diungkapkan
bahwa semua bahasa
memiliki power untuk
mengkonstruksi. “Ideology is
inhernt within language”
(ideologi itu inheren dengan
bahasa). Dan karena bahasa
memuat ideologi, maka ia
sangat berpotensi untuk
membentuk subjektivitas
seseorang.
Dalam kajian Hermeneutika,
bahasa dimaknai tidak hanya
melulu sebagai suatu kajian
secara struktural saja,
melainkan juga penting
mencari nilai dasar yang
berada dibalik struktur
bahasa yang bersifat empiris.
Untuk menemukan nilai dasar
atau core values tersebut,
kemudian mesti mencari
terlebih dahulu hakikat
bahasa di mana
diungkapkannya sebuah
realitas. Dari permasalahan
tersebut kemudian Filsafat
Bahasa dalam kajian
Hermeneutika telah
menyumbangkan metode
ilmiah yang mulai sering dan
kerap digunakan dalam
penelitian dewasa ini, yakni
Analitika Bahasa. Dapat
dikatakan bahwa Filsafat
Bahasa dalam Hermeneutika
mempunyai sumbangan yang
penting bagi perkembangan
metode ilmiah.
Bahasa secara tersurat atau
tersirat, adalah minat semua
kalangan, lebih-lebih lagi dari
kalangan filsuf. Bahkan,
Habermas sendiri, pemikir
yang menekankan muafakat
(consensus) itu pun turut
memerlukan bahasa sebagai
medium pada gagasan
komunikatifnya. Bahasa,
memang sifatnya adalah
penyambung, bukan saja
antara kelompok, juga antara
manusia dengan realiti.
Lantaran itu, Ludwig
Wittgenstein, mengangkat
wacana bahasa ini diangkat
ke tingkat falsafah. Dalam
Language Games-nya
Wittgenstein, sebagai
teorinya yang ke-II adalah
sungguh berbeda dengan
teorinya yang ke-I yang
menekankan logika bahasa.
Pada Language Games,
bahasa termasuk bentuk
bahasa biasa (ordinary
language) dapat dipahami
bahwa bahasa menurut
kenyataan penggunaannya
merupakan berdampingan
atau sejalan dengan realitas
kehidupan. Maka permainan
bahasa itu mengandung
aturan permainan tertentu
yang mempunyai karakter
atau identitas tersendiri
sesuai konteks dan realitas
kehidupan. Sebagaimana
keanekaragaman dalam
hidup manusia memerlukan
bahasa yang digunakan dalam
konteks-konteks tertentu,
dalam Language Games
terdapat seperangkat aturan
yang harus dipatuhi yang
merupakan pedoman dalam
penyelenggaraan permainan
tersebut.
Aliran Positivisme Logis yang
sangat terpengaruh atas
Wittgenstein, juga
pandangan-pandangan
filosofis dari aliran Atomisme
Logis mengenai logika,
menggunakan teknik analisis
yang ditujukan untuk
penjelasan bahasa ilmiah dan
bukan untuk menganalisis
pernyataan-pernyataan fakta
ilmiah. Positivisme Logis
menerima konsep-konsep
Atomisme Logis terutama
dalam hal analisis logis
malalui bahasa. Positivisme
Logis dalam hal Metafisika
bersikap menolak tetapi tidak
berarti Positivisme Logis PL
menafikan kebenaran dunia
luar. Ungkapan-ungkapan dan
pernyataan-pernyataan
Metafisika menurut
Positivisme Logis tidak
memberikan makna apa-apa
atau nirmakna.
Bahasa sebagai gambaran
realitas, makna yang
terkandung di dalamnya
adalah penggambaran suatu
keadaan faktual dalam dunia
realitas. Ujaran atau kata-
kata yang mengandung satu
atau lebih proposisi dapat
menggambarkan keadaan
sebenarnya. Unsur-unsur
dalam proposisi dan unsur-
unsur dalam realitas mesti
sama dan sesuai. Bahasa yang
bermakna adalah bahasa
yang menggambarkan suatu
realitas dunia yang memiliki
struktur logis. Dengan
demikian makna diperoleh
dari realitas yang melatar-
belakangi ungkapan tersebut,
konteks dari ungkapan atau
proposisi.
Bahasa yang menjadi sarana
komunikasi manusia, di mana
logika sebagai sebagai
kegiatan dengan
menggunakan nalar ataupun
hukum-hukum tertentu
adalah mutlak untuk
menciptakan pemahaman
dalam suatu komunikasi.
Bahasa juga sangat
menentukan manusia dalam
menguji kebenaran dari
pengetahuannya. Maka suatu
kebenaran sangat ditentukan
oleh penggunaan bahasa
sebagai alat jastifikasi atas
pernyataan yang benar
berdasarkan definisi. Kaitan
bahasa dengan teori
kebenaran, bahwa suatu
kebenaran dapat dijastifikasi
jika pernyataan-
pernyataannya sesuai dengan
apa yang termuat dalam
pernyataan itu. Pernyataan-
pernyataan bahasa ini mutlak
dipakai dalam teori
kebenaran, baik teori
kebenaran koherensi,
korespondensi, dan
pragmatis. Dengan begitu,
bahasa sangat menentukan
formulasi tentang fakta-fakta
untuk menemukan sebuah
kebenaran.
 
◄Design by Pocket Distributed by Deluxe Templates