Sabtu, 25 Februari 2012

DILEMA

Mataku tak mau terpejam malam ini. Percakapan itu sungguh mengganggu pikiranku.

"Aku tidak mau tinggal disana mas ! Aku trauma, bapakmu, ibumu, tetanggamu, semua. Selalu mencaciku, aku depresi mas ! Dan itu tidak sehat untuk pertumbuhan anak kita !"

"Biarkan saja mereka bicara sepuasnya, asal kamu menutup telingamu dan tidak menghiraukannya semua akan baik-baik saja. Cuek sajalah, dan pikirkan dirimu sendiri jangan hiraukan perkataan orang lain. Lagipula aku yakin mereka tidak bermaksud menyakitimu, mereka hanya menasehati walau dari belakangmu dan kebetulan kamu dengar mereka sedang membicarakanmu".

"Iya ! Kamu terus saja membela mereka. Aku ini istrimu mas, cintamu, belahan hatimu. Aku lah yang seharusnya kamu bela demi kenyamananku !"

"Tentu saja aku bela mereka ! Mereka orang tuaku dan tetangga sebelah rumah kita, siapa orang pertama yang kita minta bantuannya selain mereka ?"

"Pokoknya aku tidak mau tinggal disana ! Kamu harus disini bersamaku dengan si jabang bayi calon anakmu yang ada di kandunganku ini."

"Terserah !"
"Aku capek berdebat denganmu, tidak akan pernah selesai."
"Aku disini adalah kakak, keluargaku adalah tanggung jawabku saat orang tuaku sudah tidak lagi mampu mencari nafkah, sedangkan kau, kau masih punya kakak-kakak yang menemani orang tuamu disana. Tidak perlu kita menambahi beban mereka dengan menumpang di rumah mereka. Disini anggota keluarga sedikit, kenapa musti bergerombol disana ? Egois sekali."

"Sekali tidak mau ya tidak mau !"
"Aku trauma, dan aku akan lakukan apapun supaya kamu mau tinggal disini !"

"Ah.. Terserah !"


Kata-kata terakhir itulah yang membuatku galau sepanjang malam. Percakapan selesai tanpa solusi, menggantung, dan kami masih bersikukuh dengan ego masing-masing. Sampai hari berikutnya kami belum kontak sama sekali. Aku memang sedang marah, dan ku yakin dia pun demikian. Jadi aku akan menunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya.


Belakangan memang kami sering bertengkar mulai soal rumah, tetangga, kebersihan rumah, dan sebagainya. Namun kupikir itu hanya karena kerinduannya akan kampung halamannya di Kaltim, dan bawaan si jabang bayi. Aku memakluminya karena di awal kehamilan emosi wanita sangat labil. Begitu yang kubaca di artikel-artikel kehamilan.


Aku cukup bersabar dengan menuruti apapun keinginannya dan menghiburnya bahwa setelah si kecil lahir kita akan menjenguk kakek neneknya disana. Ternyata, rindunya memuncak seiring amarah yang menggelora, ia pulang.


Aku tidak bisa berbuat banyak, bahkan nasehat ibuku dianggapnya menyerang dan ia semakin meradang ingin pulang. Terpaksa aku menurutinya dengan satu syarat : "setelah si kecil lahir aku akan menjemput kalian"


Jauh panggang dari api. Belum sebulan, terjadilah percekcokan ini. Entah setan mana yang mempengaruhinya.



Aku seperti kehilangan semangat hidup. Saat aku sedang tekun bekerja dengan segenggam cita-cita agar bisa punya rumah sendiri di Jawa dan antusiasme menanti kehadiran si kecil harus pupus dan ku pendam jauh di lubuk hati, itupun jika hatiku masih berfungsi saat sedang hancur seperti ini.


Sebagai laki-laki aku sudah tidak lagi punya harga diri. Jika aku harus hidup ikut istriku. Meskipun sederhana, aku jauh lebih merasa bangga bila istriku mengikuti imamnya dan lebih merasa dihargai dibanding aku yang harus disana.


Sebagai orang Jawa adalah suatu kewajiban menanggung hidup istrinya, walaupun dengan bantuan orang tua, itu sudah merupakan kebanggaan tersendiri. Entah apa yang sedang dipikirkan istriku saat ini.
Aku rindu padanya.. Aku juga kesal padanya..

Ya Allah, luluhkanlah hati istriku agar ia mau menuruti suaminya, dan bukakan pintu hatinya supaya mau mendengar semua perkataanku.


Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mari berbagi

 
◄Design by Pocket Distributed by Deluxe Templates